READING

Tak Hanya untuk Pengantin, Ini Makna Roti Buaya un...

Tak Hanya untuk Pengantin, Ini Makna Roti Buaya untuk Para Lajang


Dalam acara pernikahan masyarakat Betawi, kita pasti sering melihat antaran berupa roti berbentuk buaya dari mempelai pria kepada mempelai wanita. Keberadaan penganan ini memang seakan sudah menjadi keharusan. Rupanya, bukan hanya sebagai bagian dari antaran, roti buaya sebagai makanan khas Betawi memiliki makna yang lebih dalam daripada itu.

Kini Hadir Dalam Berbagai Rasa Ukuran
Roti buaya selalu diantarkan secara berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan. Roti buaya perempuan umumnya didampingi roti buaya kecil yang menggambarkan anak buaya. Inilah yang membedakannya dari roti buaya laki-laki. Dulu, roti buaya umumnya tidak memiliki rasa, alias tawar. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, roti buaya diberi berbagai varian rasa agar dapat dimakan setelah acara usai. Ada cokelat, keju, ataupun selai, tergantung pesanan.

Ukuran roti buaya cukup besar, kira-kira sepanjang lengan orang dewasa. Namun, kini, roti buaya sudah dapat ditemui dalam bentuk kecil dan dikemas terpisah layaknya roti yang dijual secara satuan. Roti buaya kecil ini tentu bisa dipakai sebagai kudapan atau pengganjal perut saat lapar. Namun, tidak semua toko roti membuat dan menjual roti buaya karena biasanya roti buaya baru dibuat saat dipesan. Kini, roti buaya bisa Anda cari dengan mudah di pasar kue subuh, seperti Senen atau Blok M, lengkap dengan hiasan nampan dan pita.

roti buaya

Makna dan Filososi
Lalu, falsafah apa yang terkandung dalam roti buaya? Masyarakat Betawi percaya bahwa buaya adalah lambang kesetiaan karena hewan ini hanya menikah sekali dengan pasangannya. Diharapkan pengantin yang menerima roti buaya akan berbuat hal yang sama, yaitu selalu setia kepada pasangannya. Selain itu, buaya juga digambarkan sebagai hewan yang sabar. Sifat ini juga diharapkan terbawa ke dalam kehidupan para pengantin agar selalu sabar dalam menghadapi berbagai masalah. Dibalik keunikan bentuk makanan khas Betawi ini, tersimpan doa dan pengharapan yang baik juga.

Uniknya, selain kedua falsafah di atas, roti buaya yang dibawa pada saat pernikahan juga dapat dikonsumsi atau dibagikan kepada para tamu dengan syarat si penerima masih melajang. Pembagian roti ini dimaksudkan sebagai doa agar mereka segera menemukan jodoh. Tidak hanya itu, tradisi roti buaya juga sedikit banyak sudah mengalami pergeseran. Dulu, roti buaya dibuat untuk disimpan, bukan dimakan. Hal ini merupakan simbol layaknya roti yang makin lama makin habis karena dimakan belatung, begitu pula dengan cinta pasangan yang menikah akan terus bertahan hingga wafat kelak.

Melihat falsafah roti buaya yang begitu mendalam tersebut, masih relevankah ledekan “lelaki buaya” untuk menggambarkan pria yang suka menebar pesona?

Baca Juga:
6 Kedai Soto Betawi yang Wajib Anda Kunjungi
Jangan Lewatkan 5 Sajian Lezat ini di Jalan Sabang
Sate Taichan: Penantang Baru Penyuka Rasa Pedas


RELATED POST

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *