READING

Jejak Peranakan di Kuliner Indonesia

Jejak Peranakan di Kuliner Indonesia


Empat sajian lokal yang kental akan pengaruh budaya kuliner Cina

Salah satu momentum yang kerap dirayakan oleh para keturunan Peranakan di Indonesia adalah perayaan Cap Go Meh yang diperingati pada hari ke-15 bulan pertama setiap tahunnya. Namun, artikel ini tidak akan membahas soal hidangan Lontong Cap Go Meh. Sebagai gantinya, saya akan mengajak Anda menelusuri jejak hidangan Peranakan dan melihat pengaruhnya terhadap sajian kuliner di Tanah Air.

Perpaduan budaya Cina dan Indonesia salah satunya dapat dilihat dari terciptanya sejumlah hidangan yang memadukan unsur kedua kultur. Menurut website Things Asian, kombinasi ini membawa cita rasa khas yang menambah keunikan sajian lokal yang variannya sangat beragam, tergantung dari daerah masing-masing. Beberapa bahkan menjadi sajian khas di kota atau provinsi tersebut. Berikut ini empat hidangan Peranakan yang populer di Nusantara:

Pempek
Pempek bisa dibilang hidangan lokal yang wajib dicoba ketika Anda menjejakkan kaki di Kota Palembang. Sebagian orang percaya kalau makanan ini terinspirasi dari kekkian – camilan yang merupakan hasil olahan ikan dan berasal dari Cina Selatan. Menurut cerita lokal, pempek pertama kali dibuat oleh seorang keturunan Tionghoa berusia 65 tahun yang tinggal di dekat Sungai Musi pada abad ke-16. Dia mencampur tepung tapioka dengan berbagai bumbu dan daging ikan, sehingga akhirnya terciptalah hidangan ini. Dia kemudian menjajakannya keliling desa dengan gerobak. Masyarakat sekitar menamakan jajanan ini “pempek” yang berasal dari kata apek – bahasa Cina untuk “kakek tua”. Sebenarnya tidak ada yang tahu persis akan sejarah pempek di Indonesia, namun hidangan ini merupakan salah satu contoh autentik makanan Indonesia yang kental akan pengaruh budaya Cina.

Sekoteng
Bagi Anda yang sering berkunjung ke Yogyakarta, tentunya familiar dengan sekoteng – minuman hangat berisikan kacang tanah, kacang hijau, potongan roti, dan biji delima. Nama jajanan ini berasal dari istilah nyokot weteng, yang dalam bahasa Jawa berarti “minuman yang menggigit di perut”. Namun, meskipun namanya lekat dengan unsur Jawa, tahukah Anda kalau minuman ini justru diciptakan di Cina? Menurut National Geographic Indonesia, Qin Shi Huang, raja dari Dinasti Qin yang pertama kali meminum minuman ini pada sekitar 221-206 tahun sebelum Masehi. Awalnya, minuman ini berisikan biji teratai dan kelengkeng, tapi kemudian digantikan dengan bahan-bahan lokal ketika dibawa ke Indonesia.

Laksa
Laksa merupakan salah satu hidangan Peranakan yang populer di Tanah Air, dan variannya pun beragam, mulai dari laksa Betawi, laksa Bogor, laksa Cibinong, laksa Tangerang, laksa Medan, sampai dengan laksa Palembang. Sebuah artikel bertajuk “How Intermarriage Created One of the World’s Most Delicious Foods” (Bagaimana Perkawinan Antarras Menciptakan Salah Satu Sajian Paling Lezat di Dunia) yang dipublikasikan olehAtlas Obscura menjelaskan sejarah makanan ini yang bermula dari masyarakat Cina yang bermukim di pinggir pantai Indonesia. Para pelaut Cina tersebut menikahi perempuan-perempuan Indonesia yang kemudian menggabungkan cabai dan santan dengan mi Cina yang menjadi cikal bakal laksa. Seiring perkembangannya, tiap laksa di masing-masing daerah pun berbeda, sesuai dengan kultur lokal. Sebagai contoh, laksa Bogor menggunakan oncom, sementara laksa Tangerang berisikan ebi.

Bakmi
Menemukan hidangan bakmi di negara ini merupakan hal yang mudah. Meskipun banyak negara mengklaim sebagai yang pertama kali memperkenalkannya, National Geographicmelaporkan bahwa helai mi berumur 4.000 tahun ditemukan di balik mangkuk yang tersegel di situs arkeologi di barat laut Cina. Dibawa oleh para imigran Cina ke Asia Tenggara, nama “bakmi” sendiri berasal dari kata “bah” dan “mi” dari bahasa Hokkien, yang jika digabungkan berarti “mi daging”. Sama seperti laksa, jenis bakmi di Indonesia juga berbeda-beda, sesuai dengan asal daerahnya, seperti bakmi Jawa, bakmi Medan, bakmi Bangka, dan bakmi ayam.


Started her career as a food writer in 2012, Jessicha Valentina is the online editor of Good Indonesian Food. Jessicha has loved Sayur Asem since she was a wee kid and spends her free time trying to cook it.

RELATED POST

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *